BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas, dan
imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas.
Mobilisasi dan imobilisasi berada pada rentang dengan banyak tingkatan
imobilisasi parsial diantaranya. Beberapa klien mengalami kemunduran dan
selanjutnya berada diantara rentang mobilisasi—imobilisasi, tetapi pada klien
lain, berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu
tidak terbatas (Perry dan Potter, 1994).
Dalam makalah ini akan dibahas tentang gaya berjalan, dan kelainan postur tubuh
sebagaimana hal ini dipengaruhi oleh kedua faktor yang telah disebutkan diatas
yaitu mobilisasi dan imobilisasi
1.2 RUMUSAN
MASALAH
1. Apa pengertian gaya berjalan
2. Bagaimana bentuk-bentuk kelainan postur tubuh
3. Apa pengertian imobilisasi dan masalah-masalah yang menyertainya
1.3 TUJUAN
Diharapkan mahasiswa mengetahui tentang macam-macam kelainan postur tubuh serta
masalah yang berhubungan dengan imobilisasi sehingga mahasiswa dapat mengerti
bagaimana akan melakukan pemberian asuhan keperawatan yang baik dan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 GAYA
BERJALAN
Istilah gaya berjalan digunakan untuk menggambarkan cara utama atau gaya ketika
berjalan (Fish & Nielsen, 1993). Siklus gaya berjalan dimulai dari tumit mengangkat satu tungkai dan
berlanjut dengan tumit mengangkat tungkai yang sama. Interval ini sama dengan
100% siklus gaya berjalan dan berlangsung 1 detik untuik kenyamanan berjalan
(Lehmann et al, 1992).
Dengan mengkaji gaya berjalan klien memungkinkan perawat untuk membuat kesimpulan
tentang keseimbangan, postur, keamanan, dan kemampuan berjalan tanpa bantuan.
Mekanika gaya berjalan manusia mengikuti kesesuaian sistem skeletal, saraf, dan
otot dari tubuh manusia (Fish & Nielsen, 1993).
2.2 KELAINAN
POSTUR TUBUH
Ketidak normalan
|
Deskripsi
|
Penyebab
|
Penatalaksanaan
|
Tortikolis
|
Mencondongkan kepala kesisi
yang sakit, dimana otot sterno kleidomastoideus berkontraksi
|
Kondisi kongenital atau didapat
|
Operasi, pemanasan, topangan
atau imobilisasi, berdasarkan penyebab dan tingkat keparahan
|
Lordosis
|
Kurva anterior pada spinalis
lumbal yang melengkung berlebihan
|
Kondisi kongenital. Kondisi
temporer (mis. Kehamilan)
|
Latihan peregangan spinal
(berdasarkan penyebab)
|
Kifosis
|
Peningkatan kelengkungan pada
kurva spinal torakal
|
Kondisi kongenital.
Penyakit tulang/ Ricket
Tuberkulosis spinal
|
Latihan peregangan spinal,
tidur tanpa bantal, menggunakan papan tempat tidur, memakai brace/jacket,
penggabungan spinal (berdasarkan penyebab dan tingkat keparahan)
|
Kifolordosis
|
Kombinasi dari dan lordosis
|
Kondisi kongenital
|
Sama dengan metode yang
disunakan untuk kifosis dan lordosis (berdasarkan penyebab)
|
Skoliosis
|
Karvatura spinal lateral,
tinggi pinggul dan bahu tidak sama
|
Kondisi kongenital
Poliomielitis
Paralisis spatik
Panjang kaki tidak sama
|
Immobilisasi dan operasi
(berdasarkan penyebab dan tingkat keparahan)
|
Kifoskoliosis
|
Tidak normalnya kurva spinal
anteroposterior dan lateral
|
Kondisi kongenital
Poliomielitis
Kor Pulmonal
|
Immobilisasi dan operasi
(berdasarkan penyebab dan tingkat keparahan)
|
Displasia pinggul kongenital
|
Ketidakstabilan pinggul dengan
keterbatasan abduksi pinggul, dan kadang-kadang kontraktur adduksi (kaput
femur tidak tersambung dengan assebulum karena abnormal kedangkalan
asetabulum)
|
Kondisi kongenital (biasanya dengan
kelahiran sungsang)
|
Mempertahankan abduksi paha
yang terus menerus sehingga kaput femur menekan ke bagian tengah asetabulum
Bebat abduksi, gips, pembedahan
|
Knock-knee
(genu-valgum)
|
Kurva kaki yang masuk ke dalam
sehingga lutut rapat jika seseorang berjalan
|
Kondisi kongenital
Penyakit tulang/
Ricket
|
Knee brances, operasi jika
tidak dapat diperbaiki oleh pertumbuhan
|
Bowlegs
(Genu varum)
|
Satu atau dua kaki bengkok
keluar pada lutut, kondisi ini normal sampai usia 2-3 tahun
|
Kondisi kongenital
Penyakit tulang/ Ricket
|
Memperlambat kurva jika tidak
dapat diperbaiki oleh pertumbuhan
Dengan penyakit tulang
meningkatkan vitamin D, kalsium, dan fosfor
|
Clubfoot
|
95%: deviasi medial dan
plantar-fleksi kaki (equinovarus)
5%: deviasi lateral dan
dorsifleksi (calcaneovalgus)
|
Kondisi kongenital
|
Gips, pembidaian seperti Denis-Browne
splint, dan operasi (tergantrung tingkat deformitas)
|
Footdrop
|
Plantarfleksi, ketidakmampuan
menekuk kaki karena kerusakan saraf patoreal
|
Kondisi kongenital
Trauma
Posisi Immobilisasi
|
Tidak ada (tidak dapat
dikoreksi)
Dicegah melalui terapi fisik
|
Pigeon-toes
|
Rotasi dalam kaki depan, biasa
pada bayi
|
Kondisi kongenital
Kebiasaan
|
Pertumbuhan, menggunakan sepatu
terbalik
|
2.3
IMMOBILISASI
Gangguan mobilisasi fisik (immobilisasi) disefinisikan oleh North
American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika
individu mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Kim et al,
1995).perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik daqpat mengakibatkan instruksi
pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama
penggunaan alat bantu eksternal (mis. Gips atau traksi rangka), pembatasan
gerakan volunter, atau kehilangan fungsi motorik.
2.4 MASALAH DAN
ETIOLOGI GANGGUAN IMMOBILISASI
Masalah yang berhubungan dengan
immobilisasi dapat berpengaruh terhadap sistem tubuh diantaranya:
A. PENGARUH FISIOLOGIS
Pengaruh fisiologis meliputi:
1. Perubahan Metabolik
Etiologi. Immobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju
metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan
kalsium; dan gangguan pencernaan. Keberadaan proses infeksius pada klien
immobilisasi mengalami peningkatan BMR diakibatkan karena demam atau
penyembuhan luka. Demam dan penyembuhan luka meningkatkan kebutuhan oksigen
selular (McCance dan Huether, 1994).
Intervensi. Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan pengukuran
antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot, menggunakan pancatatan asupan dan
haluaran serta data laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit
maupun kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk mengevaluasi
perubahan transport nutrien, mengkaji asupan makanan dan pola eliminasi klien
untuk menentukan fungsi gastrointestinal.
2. Perubahan Sistem Respiratori
Etiologi. Klien pasca operasi dan
immobilisasi beresiko tinggi mengalami komplikasi paru-paru. Komplikasi
paru-paru yang paling umum adalah atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada
atelektasis, bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya sekresi dan kolaps
alveolus distal karena udara yang diabsorpsi, sehingga menghasilkan
hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa bronkus kecil dapat terkena. Luasnya
atelektasis ditentukan oleh bagian yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah
peradangan paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan pneumonia
hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi, memperlama penyembuhan,
dan menambah ketidaknyamanan klien (Long et al, 1993).
Intervensi. Pengkajian sistem respiratori harus dilakukan minimal setiap 2 jam pada
klien yang mengalami keterbatasan aktivitas. Perawat menginspeksi mengalami
keterbatasan aktivitas. Perawat menginspeksi pergerakan dinding dada selama
siklus inspirasi-ekspirasi penuh. Jika klien mempunyai area atelektasis,
gerakan dadanya menjadi asimetris. Selaia itu, perawat mengauskultasi
seluruh area paru-paru untuk mengidentifikasi gangguan suara napas, crackles,
atau mengi. Auskultasi harus berfokus pada area paru-paru yang tergantung
karena sekresi paru cenderung menumpukdi area bagian bawah. Pengkajian sistem
respiratori lengkap mengidentifasi adanya sekresi dan menentukan tindakan
keperawatan yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan fungsi respiratori.
3. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Ada tiga perubahan utama yaitu:
·
Hipotensi ortostatik
Adalah penurunan tekanan darah
sistolik 25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi
berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien imobilisasi, terjadi
penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada ekstremitas bawah,
dan penurunan respon otonom. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan penurunan
aliran listrik vena, diikuti oleh penurunan curah jantung yangterlihat pada
penurunan tekanan darah (McCance and Huether, 1994).
·
Beban kerja jantung
Jika beban kerja jantung
meningkat maka konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu jantung bekerja
lebih keras dan kurang efisien selama masa istirahat yang lama. Jika
imobilisasi meningkat maka curah jantung menurun, penurunan efisiensi jantung
yang lebih lanjutdan peningkatan beban kerja.
·
Trombus
Adalah akumulasi trombosit,
fibrin, faktor-faktor pembekuan darah, dan elemen sel-sel darah yang menempel
pada dinding bagian anterior vena atau arteri, kadang-kadang menutup lumen
pembuluh darah. Ada tiga faktor yang menyebabkan pembentukan trombus:
- Hilangnya integritas dinding pembuluh darah (mis. Artherosklerosis)
- Kelainan aliran darah (mis. Aliran darah vena yang lambat akibat tirah
baring dan imobilisasi)
- Perubahan unsur-unsur darah (mis. Perubahan dalam faktor pembekuan darah
atau peningkatan aktivitas trombosit) (McCance and Huether, 1994)
Intervensi. Pengakajian keperawatan kardiovaskuler pada klien imobilisasi termasuk
memantau tekanan darah, mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer,
mengobservasi tanda-tanda adanya statis vena (mis. Edema dan penyembuhan luka
yang buruk). Tekanan darah klien harus diukur, terutama jika berubah dari
berbaring (rekumben) ke duduk atau berdiri akibat resiko terjadi hipotensi
ortostatik. Dengan cara ini, kemampuan klien meninggalkan pengaman tempat
tidur.
Perawat juga mengkaji nadi apeks dan perifer. Pada beberapa klien terutama
lansia, jantung tidak dapat mentoleransi beban kerja, dan berkembang menjadi
gagal jantung. Memantau nadi perifer memungkinkan perawat mengevaluasi
kemampuan jantung memompa darah. Tidak adanya nadi perifer di ekstrimitas
bawah, terutama jika sebelumnya ada, harus dicatat dan dipaorkan ke dokter.
Perawat mengkaji sistem vena karena trombosis vena profundan merupakan bahaya
dari keterbatasan mobilisasi dengan cara, perawat melepas stoking elastis klien
dan/atau sequetial compression devices (SCDs) setiap 8 jam dan
mengobservasi betis terhadap kemerahan, hangat, dan kelembekan. Tanda Homan (Homan’s
sign) atau nyeri betis pada kaki dorsifleksi, mengindikasikan adanya
kemungkinan adanya trombus, tetapi tanda ini tidak selalu ada (Beare dan Myers,
1994).
4. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Etiologi. Pengaruh imobilisasi pada sistem
muskuloskeletal meliputi gangguan mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi
mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya tahan, penurunan massa otot,
atrofi, penurunan stabilitas, dan gangguan metabolisme kalsium dan gangguan
mobilisasi sendi.
·
Pengaruh otot
Akibat pemecahan protein, klien mengalami kehilangan massa tubuh, yang
membentuk sebagian otot. Massa otot menurun akibat metabolisme dan otot tidak
dilatih, maka akan terjadi penurunan massa yang berkelanjutan. Contohnya akan
terjadi atrofi, merupakan suatu keadaan yang dipandang secara luas sebagai
respon terhadap penyakit dan penurunan aktivitas sehari-hari, seperti paada
respons imobilisasi dan tirah baring (Kasper et al, 1993).
·
Pengaruh skelet
Imobilisasi menyababkan dua perubahan terhadap skelet; gangguan metabolisme
kalsiumdan kelainan sendi. Imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga
jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm, 1998).
Kelainan sendi adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh
sendi fleksi dan terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan
pemendekan serat otot. Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadi adalah
foot droop.
Intervensi. Kelianan muskuloskeletal utama dapat didentifikasi selama pengkajian
keperawatan meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot, dan
kontraktur. Gambaran pengukuran antropometrik
sebelumnya mengindikasikan kehilangan tonus dan massa otot. Pengkajian rentan
gerak adalah penting sebagai data dasar, yang mana hasil pengukuran nantinya
dibandingkan untuk mengevaluasi terjadi kehilangan mobilisasi sendi. Rentang
gerak diukur dengan menggunakan goniometer.
Disuse Osteoporosis tidak teridentifikasi oleh
pemeriksaan fisik. Pada wanita post menopause dan orang yang mengalami
peningkatan kadar kalsium di darah dan di urine kemungkinan beresiko besar
demineralisasi tulang. Resiko Desuse Osteoporosis harus dipertimbangkan
ketika merencanakan tindakan keperawatan. Contohnya perkusi dan fibrasi tulang
rusuk harus dilakukan hati-hati pada klien yang kemungkinan disuse osteoporosis
karena resiko terjadi fraktur tulang rusuk.
5. Perubahan Sistem Integumen
Etiologi. Dekubitus adalah salah satu penyakit iatrogenik paling umum dalam perawatan
kesehatan dimana berpengaruh terhadap populasi klien khususnya—lansia dan yang
imoblisasi (Alterescu dan Alterescu, 1992). Dekubitus terjaid akibat iskemia
dan anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah membelok, dan kontriksi
kuat pada pembuluh darah akibat tekanan persisten pada kulit dan struktur
dibawah kulit sehingga respirasi selular terganggu, dan sel menjadi mati
(Ebersole dan Hose, 1994).
Intervensi. Perawat harus terus-menerus mengkaji kulit klien terhadap tanda-tanda
kerusakan. Kulit harus diobservasi ketika klien bergerak, diperhatikan
higienisnya, atau dipenuhi kebutuhan eliminasinya. Pengkajian minimal harus
dilakukan setiap 2 jam.
6. Perubahan Eliminasi Urine
Etiologi. Eliminasi urine klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak
lurus, urin mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan
kandug kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau
datar, ginjal dan ureter membentuk garis datar seperti pesawat. Ginjal yang
membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi.
Akibat kontraksi peristaltikureter yang tidak cukup kuat melawan gaya
gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter.
Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan resiko infeksi saluran
perkemihan dan batu ginjal.
Batu ginjal adalah batu yang kalsium yang
terletak di dalam pelvis ginjal dan melewati ureter. Klien imobilisasi beresiko
terjadi pembentukan batu karena gangguan metabolisme kalsium dan akibat
hiperkalsemia (Holm, 1989).
Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan yang terbatas,
dan penyebab lain, seperti demam, akan meningkatkan resiko dehidrasi. Akibatnya haluaran urine menurun sekitar pada hari kelima atau keenam. Pada
umumnya yang diproduksi berkonsentrasi tinggi.
Urine yang pekat ini meningkatkan resiko terjadi batu dan infeksi. Perawatan
perienal yang buruk setelah defekasi, terutama pada wanita, meningkatkan resiko
kontaminasi saluran perkemihan oleh bakteri Escherechia coli. Penyebab
lain infeksi saluran perkemihan pada klien imobilisasi adalah pemakaian kateter
urine menetap.
Intervensi. Status eliminasi klien harus dievaluasi setiap shift, dan total asupan dan
haluaran dievaluasi setiap 24 jam. Perawat harus menentukan bahwa klien
menerima jumlah dan jenis cairan melalui oral atau parenteral dengan benar.
B. PENGARUH PSIKOSOSIAL
Etiologi. Imobilisasi menyebabkan respons emosional, intelektual, sensoris, dan
sosiokultural. Perubahan status emosional biasa terjadi bertahap. Bagaimana
juga lansia lebih rentan terhadap perubahan-perubahan tersebut, sehingga
perawat harus mengobservasi lebih dini. Perubahan emosional paling umum adalah
depresi, perubahan perilaku, perubahan siklus tidur bangun, dan gangguan
koping.
Intervensi. Perawat harus mengkaji perubahan status emosional untuk itu, perawat harus
mengobservasi selama beberapa hari sebelum menyimpulkan bahwa ia mempunyai
masalah depresi. Perawat juga harus mengobservasi perubahan perilaku, perawat
mencoba menentukan penyebab perubahan tersebut untuk mengidentifikasi terapi
keperawatan yang spesifik. Perawat juga mengobservasi perubahan penggunaan
mekanisme koping klien yang normal dalam beradaptasi terhadap imobilisasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Gaya berjalan digunakan untuk menggambarkan cara utama atau gaya ketika
berjalan. Dengan mengkaji gaya berjalan klien memungkinkan perawat untuk
membuat kesimpulan tentang keseimbangan, postur, keamanan, dan kemampuan
berjalan tanpa bantuan. Masalah yang
berhubungan dengan immobilisasi dapat berpengaruh terhadap sistem tubuh yang
berupa pengaruh fisiologis dan psikososial.
Perawat mengkaji klien dari bahaya imobilisasi dengan melakukan pemeriksaan
fisik dari ujung kepala sampai ujung kaki. Selain itu, pengkajian keperawatan
harus berfokus pada area fisiologis, sama seperti aspek psikososial dan
perkembangan klien.
3.2 SARAN
Dalam mengkaji tentang masalah yang berhubungan dengan imobilisasi seorang
perawat harus hati-hati dan teliti dimaksudkan untuk menjaga supaya tidak
terjadi cedera baru kepada klien. Oleh karena itu, seorang perawat harus
benar-benar menguasai dan memahami tentang seluk beluk masalah-masalah yang
berhubungan dengan mobilisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar